Thursday, October 23, 2008

Merokok Sehat ala Matematik

Sebatang Rokok mengurangi umur sang penghisap sejumlah 1,5 menit, tertawa menambah umur 3 menit. Kau hanya butuh satu tawa untuk memperpanjang defisit umur karena merokok.
Mari berhitung:
Jika Pengurangan Umur karena merokok = x (menit)
Penambahan Umur karena tertawa = y (menit)
Dan Pendapatan Umur = z (menit)
Maka y-x = z (menit)
Dengan demikian 3 -1,5 = 1,5 (menit)

"Hidop Rokok...!!!"

Kebodohan

Berkomentar tentang kesempurnaan adalah kebodohan akut stadium akhir. Namun, aku baru saja melakukannya. Ya... Baruuu... saja. Aku baru saja melakukan kebodohan terbesar sepanjang sejarah, saat mengagumi dan berkomentar tentang kecantikanmu.

Monday, October 20, 2008

Musim Kawin

Oktober 2008 menjadi momen penting bagi sekte Bawal 19 Community. Beberapa anggota sekte terlarang kaum pemuja sehat ini, melangsungkan hajat yang mengakomodir hasrat dari dalam cawat. Kawin. Bahasa sopannya nikah, karena kawin identik dengan hubungan badan antar atau intra jenis kelamin. Kenapa mesti mengingkari hubungan kelamin saat memilih diksi kawin atau nikah? Bukankah semua Makhluk (dalam hal ini manusia) bisa mengalami keberadaan lantaran hubungan kelamin? Malukah manusia menjadi produk kelamin? Identitas pertama manusia juga kelamin, yang kemudian mempengaruhi nama, pakaian, profesi dan yang paling utama kecenderungan kelamin itu sendiri.

Ya sutra lah... Mari sejenak meninggalkan tanpa menanggalkan kelamin. Tiga personel sekte Bawal 19 Community menikah dalam bulan oktober nan penuh ketidakkonsistenan cuaca dalam lingkup Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagian Jawa mengalami cuaca panas di luar ambang batas, pesisir Aceh melampau ambang batas becek, kebanjiran. Semoga ketidakkonsistenan cuaca tidak berdampak sama pada janji pernikahan. Semoga hujan yang merundung Aceh dapat menjadi lem yang baik bagi keberlanjutan kemesraan para penganten baru, agar ranjang terus berkerenyit, agar kehidupan baru terbangkit.

Permasalahan utama yang kuhadapi dilematis sangat. Sebagai simpatisan sekte Bawal 19 Community aku sedang menghadapi sepasang buah simalakama. Peristiwa, atau mungkin lebih tepat kusebut agenda, yang merajut kondisi simalakama berkaitan dengan benturan hajat nikah antara Jupe dengan Warmuzzz, dua anggota sekte Bawal 19 Community yang taqlid pada langkah CO2T merajut tali nikah. Kecewa sangat hatiku saat menyadari perbenturan agenda mereka membuktikan lemahnya sistem koordinasi pengikut sekte Bawal 19 Community.

Atau peristiwa ini membuktikan ketergesaan syahwat kerap menyingkirkan koordinasi kumpulan makhluk apapun. Qwaka.... ka... ka... ka... kax. Benturan agenda nikah antara Jupe dengan Warmuzz membuktikan ketergesaan syahwatiyah dalam ritual yang disucikan dengan istilah nikah, sekaligus preseden buruk bagi kelangsungan solidaritas sekte Bawal 19 Community. Jika anggota sekte Bawal 19 Community yang lain tidak mampu memetik pelajaran penting dari peristiwa yang menggemparkan ini, percayalah, persatuan, kesatuan dan keutuhan sekte Bawal 19 Community sedang berada di ambang disintegrasi sektarian.

Sekali lagi... aku hanya mampu berkata; "Ya... sutra lah...". Sebab pemberontakan dalam cawat sudah menjangkau titik masif dan menggiring massa pada kontradiksi pokok sehingga revolusi jasadiyah harus terselenggara dalam tempo yang sesingkat singkatnya. Tak hanya di selenggarakan di Jakarta, dimana saja, di Aceh juga.

Semoga dua pasang insan yang segera akan mengkerenyitkan ranjang segera menemukan kembali makna solidaritas sesama anggota sekte setelah masing-masing menjangkau nirwana orgasme. Selamat menempuh nikmat untuk Jupe dan Warmuzzz. Semoga kalian diberkahi kemampuan untuk menerbitkan sebaris kalimat dari perempuan yang terpilih sebagai istri yang bersanding di pelaminan dan bersama menggetarkan ranjang 12 Skala Richter; "'Yang... Kau begitu perkasa."

Thursday, October 16, 2008

Pemberontakan dari dalam Cawat

Bagaimana mengekang hasrat yang begitu dekat dan lekat? Hasrat Purba yang Aku warisi dari Adam-Hawa, hasrat yang menjadikan aku ada. Gejolak yang sering merangsangku untuk menggelinjang.

Kekang itu bernama Syari'at Islam. Aku tak ingat pasti kapan diberlakukan, yang jelas, hadirnya melahirkan pertentangan pendapat di kalangan masyarakat tempat Aku tinggal sekarang, Aceh. Semuanya bermula dari keinginan untuk membangkitkan kejayaan sejarah, yang ternyata kabur. Sejarah yang masih-selalu-harus-terus memperoleh kritikan.

Sebuah gelombang peraturan baru sekonyong menerjang. Kekuasaan mencambuk setiap orang yang melanggar ketentuan. Lantas, dalam perjalanannya banyak yang terpaksa menjadikan kekecewaan sebagai sahabat. Ternyata, kekuasaan belum mampu menjangkau pejabat atau orang yang mampu membayar denda.

Kupikir tak perlu marah, tak perlu kecewa, meski banyak yang kian akrab dengan ketidakadilan. Kalau ingin melakukan sesuatu, hanya satu yang harus kita lakukan; pertanyakanlah, "Apakah peraturan mampu menghambat pemberontakan yang terorganisir dari dalam cawat?"

(http://akudiyus.multiply.com/journal/item/1/Pemberontakan_dari_dalam_Cawat)

Pinang Telangke

Pesisir timur Aceh menjadi tempat berkembang suku Tamiang, rumpun melayu dalam wilayah Tanah Rencong. Menurut cerita dari Tok Uncu, Adik kandung Andongku, suku Tamiang adalah bentuk percampuran Aceh dengan Malaysia melalui perkawinan. Beberapa kosakatanya menunjukkan pertalian tersebut. Misalnya celana, orang Malaysia menyebutnya seluar, orang Tamiang mengatakan seluwa, sementara dalam bahasa Aceh leweu. Kata 'masih' dlam bahasa Aceh adalah mantong, demikian pula bahasa Tamiang.
Secara keseluruhan, bahasa melayu Tamiang lebih mirip bahasa mirip bahasa melayu yang merubah mayoritas huruf 'A' menjadi 'E'.
Ada satu hal yang menarik dalam adat perkawinan Tamiang. Calon mempelai lelaki harus membawa sebuah persembahan wajib. Pinang Telangke namanya. Bahan dasarnya pinang (Areca Catechu L.) biasa (memangnya ada pinang luarbiasa...???). Uniknya, pinang diserut dengan penuh kesabaran hingga membentuk sepasang cincin bertaut, tanpa sambung dan ujung-pangkal. Menurut rekaan simbol dengan modal imajinasi secukupnya Pinang Telangke yang bertaut tanpa ujung pangkal melambangkan pertautan hubungan sepasang hati anak manusia.
Ehm... Aku sudah berhasil merekonstruksi sebentuk Pinang Telangke. Kesenangan yang membuncah dalam dada timbul karena sejak kecil aku jauh dengan akar primordial. Sekitar umur 3 tahun Bapak memboyong kami sekeluarga ke Batuphat, Lhokseumawe (waktu itu masih Aceh Utara). Pertengahan kelas 2 SD kelaurgaku kembali (dan berdomisili) ke kampung, Tamat SD aku ke Lampahan, Timang Gajah (semasih dalam wilayah Aceh Tengah). Smester 2 kelas 2 pindah lagi ke Kota Takengon. Awal smester 1 kelas 3 pindah ke kampong. Tamat SMP aku masuk SMU 1 Langsa dan akhirnya di Banda Aceh aku kuliah. Tak ada waktu mengenal perhelatan adat Tamiang mengingat kelekangan jarak dengan akarku. Perantauan menjadi tempat terdekat dengan diri. Adat melayu yang kukenal hanya even mingguan "Berbalas Pantun" di TVRI Medan, siaran TV yang sampai ke kampung. Ada juga even tahunan perlombaan tari "Serampang Duabelas" di stasiun yang sama.
Coba bayangkan... (dengan gaya Pak Su'Ib) bagaimana senang hati saat berhasil mengerjakan sebuah proyek adatisasi tanpa pernah melihatnya langsung, tanpa contekan. Bapak senang bukan main saat kutunjukkan buah kontemplasiku. Mamak tak percaya. Aku langsung Numbered Listmemamerkan pada Arfi. Sesampainya Nisha dari kampung tak luput dari aksi pamerku.
Sebenarnya obsesi ini muncul dengan banyak dorongan:
  1. Setahun lalu aku sudah mencoba dan menghasilkan kegagalan karena kurang menyanjung ketekunan. Proyek rekonstruksi adat tertunda sambil memendam obsesi.
  2. Saat pernikahan CO2T, aku ingin mempersembahkan Pinang Telangke sebagai kado dengan pertimbangan keunikan. Sayang disayang aku gagal menemukan biji pinang biasa, hanya ada biji pinang jenis Palem Raja (Roystonea Regia) di rumah. Ternyata ini pinang berongga bagian dalamnya. Butuh skill lebih untuk menentukan presisi pemotongan. Akhirnya gagal mempersembahkan Pinang Telangke untuk kado pernikahan Rini dengan CO2T.
  3. Banyak kawan yang akan menikah bulan Oktober (2008).
Kuharap kawan kawan yang punya referensi tambahan bisa membantu memberi deskripsi mengenai Pinang Telangke dan Sejarah Tamiang. Tak bermaksud primordial, hanya berusaha mengingat akar. Soalnya Tamiang termasuk etnis minoritas di Aceh. Kutunggu bantuannya.

Saturday, October 11, 2008

Pasangan Terakhir dari Selembar Foto.

Seorang lagi kawan menikah. Ia seorang di antara puluhan pahlawan bagi perkawinanku, pasangannya juga. Aku dan kawan-kawan memanggilnya Kokot, diambil dari nama kecilnya, Dukot. Namun tulisan namanya CO2T. Mirip rumus senyawa kimia 'kan... Nama aslinya lebih gagah dan panjang, Dhanny Rahman Hakim Harahap.

Sore harinya aku ketemu dengan Arfi, adikku.
"Berapa kali ulang akad nikah si CO2T dek?" tanyaku.
"Sekali aja" jawabnya.

Aku bersyukur. Akad nikah penuh tekanan mental. Seluruh komitmen tertuang dalam ucapan yang harus satu nafas bergaung. CO2T sendiri pernah kebat-kebit mengungkapkan kekhawatirannya mengucap akad dalam satu nafas. Akhirnya kau sukses, Men...

Aku tak hadir pada upacara pernikahannya 9 Oktober 2008. Aku berpikir bahwa dia merasa ada yang hilang (koq Pe De kali aku). Yah... sebagai kawan Aku merasa ada yang kurang dalam hidup sebab tak mampu hadir dalam upacara penikahnnya. Makanya, saat resepsi pernikahan aku datang bersama istri. Tiga singgasana pelaminan berjajar, CO2T dan Rini berada di pelaminan tengah. Kebetulan, saat aku datang, busana Aceh sedang membalut tubuh sepasang mempelai. Aku menegur fotografer perkawinan mereka, Bang Ferry, aku pernah menjadi murid fotografinya dalam pelatihan yang dilaksanakan BUMIKU PROPERTI, lembaga setingkat UKM di Unsyiah.

Beberapa tamu berfoto ria dengan mempelai yang berwajah binar. Entah mengapa aku merasa terharu dan grogi saat melihat mereka berdua. Mereka menggenapi foto yang memuat 5 pasang anak manusia; Aku dengan Yasmin, istriku; Hospie dengan Via; Muslem (Almarhum) dengan Ninta; Pojant dengan Yuyu; dan terakhir CO2T dengan Rini. Sayang, nilai estetika foto itu sangat terganggu dengan kehadiran tiga makhluk aneh; Zulfan Amru, Munawar 'Ajes' dan Mustiqal Saputra. Makanya aku memberi judul "Lima Pasang Dewa-Dewi dan Tiga Ekor Monyet Jantan", untuk foto kenangan kami. Kalau nggak salah ingat foto itu dijepret oleh Raf Sanjani saat BEM Fakultas Hukum Unsyiah menggelar SaMPAH 2003.

Saat aku dan istri mendekati keduanya, sebuncah bahagia memenuhi rongga dada. Bang Ferry menjepret kami. Satu kenangan sudah terekam dalam selembar foto lagi.

Muslem telah berpulang, tak sempat menuntaskan kisah cintanya dengan Ninta. CO2T dan Rini sudah menggenapi beban pertanyaan yang sering hinggap di pikiranku dan kawan-kawan yang ada dalam lembaran kenangan "Siapa yang tidak jadi menikah di antara penghuni foto itu?". Pernikahan CO2T dengan Rini menjadi kemenangan bagi rajut cinta yang mereka rangkai berdua. Bagiku, perkawinan mereka menjadi kemenangan komitmen adegan mesra yang tersemat pada sebuah foto. Semoga kenangan dan kerinduan dapat mengobati kemarahan yang membuncah saat kalian berdua menempuh perjalanan menuju cinta.

Selamat berbahagia untuk sepasang kawan dan pahlawan perkawinanku. Kata telah berhambur tak terhitung, pernikahan kalian menjadi kebahagiaan tersendiri bagi aku dan keluarga. Selamat menempuh cinta dalam rentang tak terbilang.

Monday, October 6, 2008

Mencoba Kembali Menulis

Lama sudah berhenti aku menulis. Meski belum pernah mencapai taraf matang, kawan selingkaran mendorong. Nggak usah pakai istilah terpaksa sebagai pengingkaran hobby atau istilah panggilan jiwa untuk pemanis bibir. Menulis untuk mengisi keberadaan, berbagi cerita dengan semua makhluk yang bisa mengakses buku harian online bernama blog. Ya... udah lah, nggak usah berpanjang kata, takut kehabisan.

"Mari Berproses...!!!"

Diyus Hanafi