Thursday, October 16, 2008

Pinang Telangke

Pesisir timur Aceh menjadi tempat berkembang suku Tamiang, rumpun melayu dalam wilayah Tanah Rencong. Menurut cerita dari Tok Uncu, Adik kandung Andongku, suku Tamiang adalah bentuk percampuran Aceh dengan Malaysia melalui perkawinan. Beberapa kosakatanya menunjukkan pertalian tersebut. Misalnya celana, orang Malaysia menyebutnya seluar, orang Tamiang mengatakan seluwa, sementara dalam bahasa Aceh leweu. Kata 'masih' dlam bahasa Aceh adalah mantong, demikian pula bahasa Tamiang.
Secara keseluruhan, bahasa melayu Tamiang lebih mirip bahasa mirip bahasa melayu yang merubah mayoritas huruf 'A' menjadi 'E'.
Ada satu hal yang menarik dalam adat perkawinan Tamiang. Calon mempelai lelaki harus membawa sebuah persembahan wajib. Pinang Telangke namanya. Bahan dasarnya pinang (Areca Catechu L.) biasa (memangnya ada pinang luarbiasa...???). Uniknya, pinang diserut dengan penuh kesabaran hingga membentuk sepasang cincin bertaut, tanpa sambung dan ujung-pangkal. Menurut rekaan simbol dengan modal imajinasi secukupnya Pinang Telangke yang bertaut tanpa ujung pangkal melambangkan pertautan hubungan sepasang hati anak manusia.
Ehm... Aku sudah berhasil merekonstruksi sebentuk Pinang Telangke. Kesenangan yang membuncah dalam dada timbul karena sejak kecil aku jauh dengan akar primordial. Sekitar umur 3 tahun Bapak memboyong kami sekeluarga ke Batuphat, Lhokseumawe (waktu itu masih Aceh Utara). Pertengahan kelas 2 SD kelaurgaku kembali (dan berdomisili) ke kampung, Tamat SD aku ke Lampahan, Timang Gajah (semasih dalam wilayah Aceh Tengah). Smester 2 kelas 2 pindah lagi ke Kota Takengon. Awal smester 1 kelas 3 pindah ke kampong. Tamat SMP aku masuk SMU 1 Langsa dan akhirnya di Banda Aceh aku kuliah. Tak ada waktu mengenal perhelatan adat Tamiang mengingat kelekangan jarak dengan akarku. Perantauan menjadi tempat terdekat dengan diri. Adat melayu yang kukenal hanya even mingguan "Berbalas Pantun" di TVRI Medan, siaran TV yang sampai ke kampung. Ada juga even tahunan perlombaan tari "Serampang Duabelas" di stasiun yang sama.
Coba bayangkan... (dengan gaya Pak Su'Ib) bagaimana senang hati saat berhasil mengerjakan sebuah proyek adatisasi tanpa pernah melihatnya langsung, tanpa contekan. Bapak senang bukan main saat kutunjukkan buah kontemplasiku. Mamak tak percaya. Aku langsung Numbered Listmemamerkan pada Arfi. Sesampainya Nisha dari kampung tak luput dari aksi pamerku.
Sebenarnya obsesi ini muncul dengan banyak dorongan:
  1. Setahun lalu aku sudah mencoba dan menghasilkan kegagalan karena kurang menyanjung ketekunan. Proyek rekonstruksi adat tertunda sambil memendam obsesi.
  2. Saat pernikahan CO2T, aku ingin mempersembahkan Pinang Telangke sebagai kado dengan pertimbangan keunikan. Sayang disayang aku gagal menemukan biji pinang biasa, hanya ada biji pinang jenis Palem Raja (Roystonea Regia) di rumah. Ternyata ini pinang berongga bagian dalamnya. Butuh skill lebih untuk menentukan presisi pemotongan. Akhirnya gagal mempersembahkan Pinang Telangke untuk kado pernikahan Rini dengan CO2T.
  3. Banyak kawan yang akan menikah bulan Oktober (2008).
Kuharap kawan kawan yang punya referensi tambahan bisa membantu memberi deskripsi mengenai Pinang Telangke dan Sejarah Tamiang. Tak bermaksud primordial, hanya berusaha mengingat akar. Soalnya Tamiang termasuk etnis minoritas di Aceh. Kutunggu bantuannya.

No comments: