Tuesday, February 3, 2009

Rencana

Jika ada yang membedakan hidup orang timur dengan barat, kupikir rencana akan menempati posisi pertama pada daftar perbandingan. “So, what's the plan B?” Pertanyaan semacam ini sering muncul dalam alur film bikinan barat. Mereka bahkan sudah harus memiliki rencana cadangan saat menjalankan sesuatu. Bandingkan dengan; “Aku jadi bingung tak tau harus bagaimana…” Nah… yang ini khas adegan film Indonesia. Sebagai perbandingan kita tak harus menjebak diri dengan pertanyaan “Apakah barat itu?”. “Apakah timur itu?” Yah… kupikir barat dan timur yang kau pahami dalam konteks masyarakat saja, bukan penjuru mata angin.

Aku tak akan menempuh bahasan berdimensi luas. Kisahnya sederhana. Minggu, 1 Pebruari 2009, Tahun Kerbau dalam almanak Tiongkok, aku menjalin kisah dengan keluarga dan kawan. Masih terbilang pagi saat Arfi mengetuk pintu kamar dengan sebuah kabar; Aroel and The Gank mengajakku ke pantai naik delman istimewa di samping pak kusir yang giat bekerja supaya kuda baik jalannya. Ups… maksudku Aroel, Dedek dan Ceudah mengundang Aku, Istriku, Hanya dan Genggam menikmati tamasya pemandangan Lampuuk.

Aku sempat menghiraukannya begitu saja mengigat tak ada rencana. Waktu berbilang menit berlalu, dering HP-ku berisik bertalu. Qenyodt. Nama yang muncul di HP membuatku membayangkan Gank lain; Ajes, Jessi dan Mirah Jugi. Kuhimpit tombol penerima dengan jempol kanan.

“Wak, kau dimana?”

“Rumah”

Ada rencana kemana hari ini?” Ajes bertanya lagi.

“Blom ada”

“Gimana kalau kita bawa anak-anak jalan?”

“OK, ” jawabku, ”tapi kau kemari lah… biar Jugi bisa maen di halaman rumah ‘sama Anya dan Genggam” aku melempar tawaran.

“Itulah masalahnya, nggak ada yang pegangin Jugi di mobil” jawabnya.

“Lho… Jessi kemana?” tanyaku

Jakarta. Ya… udahlah, nanti kuhubungi lagi kalau ada solusi. Jugi nggak bisa berangin-angin, sedang kena cacar” pungkasnya

“OK. Kutunggu perkembangannya” kulemparkan HP ke sudut ranjang yang sama malasnya denganku.

Aku bangkit saat Istriku tersayang menyampaikan jumlah bumbu pecal yang masih tersisa di rumah harus segera diantar ke kedai langganan. Ia memaksaku bergegas karena Aroel and The Gank sedang dalam perjalanan. Setelah membasuh muka sekedarnya, dengan jumlah air yang juga sekedar aku mengengkol kreta, mengitari Lambhuk, Lampriek, Lamdingin, Kampung Keramat dan Prada. Satu jam berlalu saat semua barang beres kuedar plus Rp 80 ribuan di kantong.

Aku memutar stang kreta menuju rumah. Aroel and The Gank alah tibo. Segan menanyakan berapa lama mereka sudah bertambat di rumahku, aku bergegas mengganti baju dengan kaos yang lebih nyaman. Pilihanku tertambat pada baju merah bergambar mobil VW kodok dan Iblis Api dari Jepang (itu kata si Ajes, kalau ada yang mau ralat komplain aja ke dia) plus sandal jepit hitam-putih standar protokoler.

Kurcaci kecil sudah gelisah menanti hambus ke pantai. Malik, Hanya Genggam, dan Cedah sudah berpakaian semeriah mungkin.

Kami bergegas mempertimbangkan hari yang layu menua. Menurut taksiran di sela gerutuan Arfi kami akan tiba jam empat. Cukup lambat untuk standar waktu ke pantai yang biasa kupakai. Ombak punya pesona tersendiri untuk sejenak memancangkan penat pada deburnya. Di perjalanan kami mampir ke swalayan Fiki, Lamteumen. Dua orang ibu muda belanja-belanji, aku mengawal kurcaci sementara Aroel masuk sebentar mendampingi DW Mapala Hukum sambil menggendong Ceudah. Setelah membeli Jeruk Manis ia kembali ke mobil. Berselang sepuluh menit siaplah pernak-pernik terbeli. Kuaci, permen dan pemeriah kunyah lainnya.

Anak-anak menikmati pemandangan di kiri-kanan jalan, meski bukan pohon cemara seperti dalam lagu Naik ke Puncak Gunung yang mereka pandang, kegembiraan tetap terselenggara seadanya, tanpa rencana yang matang dan berbelit, tanpa struktur kepanitiaan. Kegembiraan hari minggu lebih mirip kejut listrik pada tubuh orang di ruang operasi. Menghentak dan membangkitkan.

Namanya juga tanpa rencana, penentuan lokasi juga tak luput. Sebagai dua orang yang paham fiil laku masing-masing, aku dan Aroel memilih Tebing Baret sebagai lokasi pilihan di antara 3 km bentangan pantai Lampuuk. Tak ada komplain dari para ibu yang seleranya 11-12 dengan para suami.

Kami memilih jalur masuk alternatif menghindari kemacetan. Sesudah memasuki jalur, HP-ku mengumandangkan panggilan. Akang.

”Qyu…!!!“ seruku

”Qyu…!!! Dimana Posisi…?” suara di seberang menuntut jawab.

“Aku dan Aroel bawa anak-anak ke Lampuuk” jawabku ringan.

“O… mak… tega kali kalian ke pantai nggak ajak-ajak aku” keluhnya.

“Kukira ko sedang punya agenda sendiri dengan nyonya. Nyusul aja wak, kami juga belum sampek” usulku.

“Iya… kami juga sedang dalam perjalanan kesana” jawabnya membuka dusta.

“Apa juga… lagak ko macam nggak punya inisiatif” hujatku.

“Ya udah lah, kita ketemu disana” ujarnya.

”Qyu…!!!“

Sebelum berangkat aku sempat menyarankan ke Arfi untuk menghubungi Ajes yang sedang dalam fase temporary widower atau duda ad interim mengingat Jessi sedang berada di Jakarta. Meski aku tau kalau dia tak bisa membawa Jugi berangin ria di pantai, paling tidak dia tau kalau ada konsentrasi massa progresif (Ciye i le…) di Lampuuk.

Gerbang tebing baret belum menyambut kami dengan aroma laut dan deburan ombak saat seluruh pandanganku tertuju pada sekumpulan orang di sebuah jambo. Karcis. Setelah tawar menawar harga pas, dari tangan sang penjaga pintu masuk karcis terlepas, Aroelpun menginjak gas. Kreta lalu-lalang searah dan berlawanan. Aroel memarkir mobil, aku dan ibu-ibu membongkar barang tanpa sedetikpun melepaskan pengawasan dari polah para kurcaci yang tak sabar menyerahkan diri pada pesona ombak penuh rindu.

Namanya juga tanpa rencana. Aku menggigil menahan tawa dalam perut. Bang Abenk pasti marah besar kalau sampai menyaksikan packing kami yang acak-acakan. Betapa memalukan melihat dua kepala keluarga anggota Mapala Hukum ke Lampuuk menenteng belanjaan. “Woy…!!! Carriage, dimanakah kalian berada….!!!” Aku merutuk malu. Namanya juga tanpa rencana. Aku merengkuh Genggam dengan tangan kiri membentuk kait. Menurut saja ia saat aku mengarahkan langkah menuju bibir pantai. Kami memilih tempat di tepi tebing, memasang tenda mainan dan menempatkan barang.

Bang Eka Tiga Warna mengejutkanku.

“Siapa suruh dirikan tenda disini…” aku menoleh, tawa kami bersambutan. Tangan berjabat, kabar bertukar, ketawa-ketiwi, lalu…

“OK, Yus… aku kesana dulu” ia menunjuk arah beberapa meter dari tempat kami berdiri. Kulihat seperangkat alat panjat sudah menggelayuti bidang tebing. Kaos bertulis Rambideunt bertebaran dipakai.

Aku kembali memusatkan perhatian pada keriangan kanak-kanak. Malik tak sabar menceburkan diri ke laut. Gelombang pantai tebing baret dan kedho’ifanku berenang memerintahkanku menolak pintanya. Beberapa meter dari bibir pantai kulihat sebuah kubangan besar yang lebih aman. Aku menemaninya kesana.

“Yong… panggilin si Anya suruh kesini” teriaknya.

“Bentar” aku menjepret beberapa frame dari kamera yang kupinjam dari Joe.

Tak lama ia bosan mandi sendiri. Kuajak ia kembali ke markas pusat. Ibu-ibu sedang makan. Akang dan Nyonya baru tiba. Kabau, Badak, Jani, Bobby, Simba, Arfi sedang berkerumun.

Setelah tuntas makan, ibu dan anak menuju kubangan dangkal untuk memuaskan naluri berbasah-basah para kurcaci.

Kebahagiaan terselenggara tanpa rencana detail pada hari pertama Pebruari 2009, tanpa rencana A apalagi B. Kejutan listrik di ruang operasi pembuluh jantung, menghentak dan membawa kehidupan yang terbunuh rutinitas. Rencana membangun suasana yang lebih bernas, namun menutup peluang penyegaran saraf dari unsur debar. Ombak tetap menghempas, tanpa rencana dan duga.


Lambhuk, Dini Hari 3 Pebruari 2009

2 comments:

Anonymous said...

DW Mapala Hukum itu apa bang??

Diyus Hanafi said...

DW= Dharma Wanita. Ini istilah yang awam di gunakan, kalau kau nggak tau berarti kau nggak masuk kategori orang awam, tapi orang tak awam